Kamis, 25 Desember 2025

Serpihan kaca

Sisa Hangat yang Membeku

Aku pernah memungut hatiku
dari lantai yg telah diinjak kotor,
membersihkannya dengan air mata maaf
yang kupaksa suci meski pahit

Kupikir cinta adalah rumah
yang bisa diperbaiki retaknya,
kupikir namaku masih terukir
di dada tempatnya cinta

Namun dirinya berubah menjadi musim dingin, bak salju
yang tinggal di tubuh seorang yg mengatakan selalu ada disampingku
Namun tatapnya seperti jendela tertutup,
tak ada cahaya,
tak ada hati yg bergetar.

Pernah suatu malam ku coba membuka suaraku,
pelan—
menghamparkan rindu seperti kayu rapuh,
meminta dicintai
bukan dengan janji,
hanya dengan kehadiran.

Namun kata-kataku seakan seperti pidato politik yg menggelora.
Keinginanku dicintai dinilai salah musim.
Kepalanya sedang penuh angka,
Berfikir tentang takdir dan hari esok
menjadi badai di benaknya yg menghalangi niat suci

Seolah hatiku dan pintaku adalah gangguan,
dan cintaku adalah kebisingan
di tengah laporan keuangan yang tak kunjung usai.
Seolah luka batinku harus menunggu stabilnya saldo
baru pantas didengar.

Aku duduk di sisinya
namun terasa sejauh dua benua,
kulitku kering tak disentuh,
jiwaku kosong menunggu diisinya kepingan cinta kembali

Gairahnya padam di hadapanku,
seakan aku bukan perempuan
Hanya kenangan usang
yang ingin dirinya tetap lewati tanpa menoleh.

Setiap malam aku bercakap dengan luka,
bertanya:
apakah memaafkan memang harus
dibayar dengan kesepian?

Aku istri yang masih setia,
namun kesetiaan ini
seperti lilin di ruang hampa—
menyala,
menghabiskan diri,
tanpa pernah menghangatkan siapa pun.

Jika dirinya tahu
betapa sakitnya dicintai setengah hati,
betapa perihnya menjadi istri
yang ada namun tidak diinginkan,
mungkin dirinya baru akan mengerti
mengapa diamku kini
lebih nyaring dari seribu tangis.

Ada saat dirinya menyentuhku
Sepertinya bukan karena rindu,
melainkan kewajiban
yang terasa dingin di jemarinya

Tubuhku gemetar seperti daun
yang pernah patah oleh badai,
ingatannya terlalu tajam
untuk pura-pura utuh.
Sentuhan itu tak menetap,
tak mengalir,
jiwaku menutup pintu
sebelum nikmat sempat singgah.

Bukan karena aku tak mau,
melainkan karena lukaku
lebih cepat dari kehendakku.
Tubuh ini belajar menolak
demi bertahan,
meski hatiku remuk
oleh rasa yang tak diinginkan.

Aku hancur—
Belum mati,
melainkan runtuh pelan
di dalam dada.
Namun aku menahan serpihan kaca dalam ikatan janji suci
kupungut satu per satu
dengan doa yang tak pernah berhenti.

Aku masih ingin berdiri,
meski kakiku gemetar.
Aku masih ingin utuh,
meski hatiku retak.
Sebab aku tak ingin luka ini
membuatku jauh dari Rabb-ku

Aku ingin menjadi istri
yang tidak membalas dingin dengan murka,
tidak menjawab luka dengan dosa.
Aku ingin tetap menjadi hamba
yang taat,
meski harus menangis perih
sendirian di hadapan-Nya.

Teguranku
Cinta manusia gagal memelukku,
biar aku berlindung
pada kasih yang tak pernah berpaling.
Di sanalah aku belajar:
bahwa tidak hancur
juga sebuah perjuangan suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar